Refleksi Tahun Politik 2019

TAHUN 2019 disebut tahun politik, karena di tahun ini diselenggarakan Pemilihan Umum Presiden, Pemilihan Umum Legislatif, baik memilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) maupun memilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

Pemilu kali ini cukup rumit, karena lima jenis pemilu dilaksanakan secara serentak. Dibutuhkan sosialisasi yang lebih matang bagi masyarakat awam agar tidak salah pengertian. Saking rumitnya, bahkan tak mustahil, sosialisasi malah menambah rumit mereka yang kemampuan pemahamannya terbatas.

Sejumlah peristiwa besar membelit para kepala daerah di Lampung. Salah satunya, gencarnya oprasi tangkap tangan yang dilakukan KPK. Melalui pemilu ini, “Sang Bumi Ruwa Jurai” harus memperkuat persatuan agar mampu memenangkan pemimpin yang mampu mendukung kepentingannya. Kita tidak bisa apriori terhadap peristiwa ini. Kenyataannya, satu demi satu kepala daerah di comot KPK. Sejumlah bupati di sekitar Lampung seperti; Lampung Tengah, Lampung Selatan dan Mesuji terseret kasus suap.

Penulis meyakini bahwa, Negara Republik Indonesia tidak akan bubar. Indonesia tidak akan dijajah lagi oleh siapa pun sampai kapan pun. Eksistentsi Indonesia akan tetap terjaga selama UUD 1945 menyebutkan, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…” Sebab, konstitusi ini menunjukkan bahwa Indonesia ada karena rahmat Allah Yang Maha Kuasa.

Itulah sebabnya, Allah sendiri yang selalu meridai kita sebagai warga negara dalam upaya menjaga eksistensi Indonesia selagi kita mempertahankan kalimat “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…” dalam Pembukaan UUD 1945. Sebaliknya jika bangsa Indonesia menghapus atau mengamendemen kalimat di atas, maka tidak mustahil, eksistensi kepala dearah di Indonesia seperti telor di ujung tanduk.

Eksistensi Indonesia memang terjamin. Persoalannya, apakah Indonesia yang masih ada itu dalam keadaan sejahtera, adil, dan makmur? Atau sebaliknya, Indonesia justru berada dalam kehancuran ekonomi, politik, sosial budaya, bahkan hancur kepribadian bangsanya?

Inilah yang membutuhkan ijtihad para cerdik pandai. Di sini dibutuhkan politikus yang negarawan, bukan sekadar politikus yang haus kekuasaan. Negarawan bertindak dan berjuang demi kebaikan bangsa dan negara, sedangkan politikus bertindak demi kekuasaan diri dan kelompoknya. Negarawan mempertaruhkan jiwa, raga, dan hartanya demi kemakmuran rakyat, sedangkan politikus mempertaruhkan apa pun demi harta, benda, dan kekuasaan diri dan kelompoknya.

Pemilu 2019 menjadi pertaruhan, apakah Indonesia jatuh ke tangan penguasa yang negarawan atau sekadar politikus yang haus kekuasaan. Jika salah pilih, maka bangsa Indonesia mengangkat pemimpin dan anggota legislatif yang mementingkan diri pribadi. Jika jeli dan memilih wakilnya yang negarawan, mereka berarti memperkokoh foundamen bangsa dan negara. Para wakil rakyat inilah yang berjuang melakukan pemulihan, membangun kembali Indonesia yang tercabik akibat berbagai perbedaan.

Menjelang pemilu banyak isu terhembus, seperti bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia (PKI). Isu ini semakin fenomenal di perbincangkan di media sosial. Penulis harus menegaskan, PKI tidak akan bisa bangkit selagi Tap MPRS No. 25 masih dipertahankan. Selama TAP ini masih dipertahankan, maka selama itu pula PKI tidak akan bisa eksis, apalagi tumbuh dan berkembang.

Menghapus TAP MPRS tentang larangan terhadap PKI dapat dikatakan mustahil. Sebab, eksistensi MPRS-nya sudah tidak ada, namun ketetapannya masih berlaku. Sedangkan eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sekarang berbeda dengan MPR dan MPRS di masa lalu. MPR sekarang adalah lembaga tinggi negara sebagaimana lembaga tinggi negara lainnya seperti DPR, dan DPD. Sedangkan MPRS yang mengeluarkan Tap MPRS No. 25 adalah lembaga tertinggi negara.

Maka, selagi Indonesia masih konsisten dengan konstitusi yang berlaku sekarang, PKI dengan paham Leninisme dan Marxisme tetap dilarang. PKI pernah menjadi partai politik di Indonesia merupakan kenyataan. Bahwa anak cucu anggota PKI sekarang sudah dewasa dan masuk dunia politik juga merupakan realita. Persoalannya, apakah Indonesia harus kembali pecah? Haruskah terjadi perang saudara kembali seperti tahun 1965? Apakah kita harus berdarah-darah lagi? Pastikan, TIDAK.

Indonesia tidak memiliki pilihan lagi selain bersatu. Hanya dengan kesatuan dan persatuan, eksistensi Indonesia dapat dipertahankan. Marilah semua pihak saling menghargai, saling menyadari pentingnya Indonesia merdeka dan bermartabat. Tak ada negara dan bangsa yang sempurna. Juga tidak ada kehidupan yang tidak memiliki kekurangan.

Siapa pun yang terpilih sebagai presiden dan anggota legislatif di semua tingkatan, mereka mempunyai kewajiban mengedukasi masyarakat untuk taat hukum. Itulah negara yang berdasarkan Pancasila. Negara yang religius tapi bukan negara agama, dan menjadikan agama sebagai sumber inspirasi.

Di dalam negara Pancasila, perbedaan menjadi rahmat dan saling melengkapi. Masyarakatnya penuh toleransi, ramah, dan saling menghargai. Semua terwujud berkat keteladanan para pemimpin yang akan terpilih nanti. Maka, siapa pun yang akan dipilih nanti, pilihlah pemimpin negarawan, bukan pemimpin politikus semata. Merekalah yang akan menyelamatkan bangsa dan negara dari perpecahan. Bahkan, merekalah yang akan mewujudkan cita-cita pendiri bangsa membangun negara yang gemah ripah loh jinawi.

Penulis : Joni Efendi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.