Pro-Kontra Hak Pilih Penderita Gangguan Jiwa, Ini Pendapat Caleg PAN Tubaba

Paranaragan, Warta9.com PRO dan kontra pendapat atas keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang membolehkan orang orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) menyampaikan hak politiknya pada pemilihan umum (pemilu) 2019. Hal ini juga baru pertama kali dalam sejarah demokrasi di Indonesia yang wajar menjadi perbincangan publik.

Para komisioner KPU di daerahpun kini ada yang telah melakukan pendataan bagi penderita sakit jiwa untuk diberikan hak pilihnya pada Pemilu 2019. KPU juga mempasilitasi penyelenggaraan pemilu di tempat-tempat perawatan orang gila seperti rumah sakit jiwa (RSJ) dan panti-panti sosial.

Pendapat Caleg DPRD Partai Amanat Nasioal Kabupaten Tulangbawang Barat

Adin Sod, demikian sapaan hangat Sodri Helmi, Caleg DPRD Partai PAN Dapil 1 Kecamatan Tulangbawang Tengah, Kabupaten Tulangbawang Barat ini berharap agar semua pihak bersikap waras dan tidak aneh, menyusul keputusan Komisi Pemilihan Umum yang membolehkan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) bisa mencoblos dengan mekanisme membawa surat keterangan dokter.

“Tugas kita memaksimalkan hak pilih orang waras saja belum terlaksana dengan baik. Apalagi jika ditambah dengan orang tidak waras untuk memilih, saya kurang sependapat dengan kebijakan ODGJ dimasukkan ke dalam daftar pemilih tetap Pemilu 2019,” ujar Sodri, Jumat (30/11/2018).

ketidaksepahaman itu menurut Sodri, memberi pemahaman kepada orang yang sudah pasti waras saja belum tentu mereka menggunakan hak pilihnya, apalagi orang gila. “Rasionalitas harus menjadi pijakan utama penentuan kriteria pemilih, sebab variabel ini tidak dipunyai oleh orang yang mengalami disabilitas mental,” katanya.

PKPU No 11 Tahun 2018 yang menjadi dasar hukum kebijakan itu, tidak sejalan dengan seluruh aspek kewarasan dalam pemilu, dengan syarat harus warga negara yang sehat jasmani dan rohani, sementara kalau ODGJ rohaninya sedang tidak sehat, sehingga tidak memenuhi syarat. Demokrasi juga harus disampaikan dengan bebas dan rahasia.

“Gimana dengan orang kurang waras yang saat memilih harus didampingi, meskipun itu keluarga. Sama calon aja dia gak kenal, demokrasi aja mungkin dia tidak paham. Hukum juga tidak bisa menyeret orang tidak waras ke meja hijau, sebab ODGJ tidak melekat hak dan kewajiban yang berada dalam sebuah hukum positif di Indonesia,” pendapat Sodri.

Namun sebagai warga negara yang taat aturan dirinya mendukung segala keputusan termasuk orang kurang waras bisa memilih. Jika mereka memiliki hak dalam demokrasi, harusnya juga diberikan hak untuk dipilih. Sehingga pemenuhan hak dan kewajiban menjadi merata dan tidak menumpuk di salah satu golongan. Orang waras memiliki hak pilih, maka ODGJ juga semestinya memiliki hak yang sama sehingga ada keadilan.

“Saya yakin KPU profesional dalam mendata ODGJ, tidak mungkin petugas memasukan orang gila ke dalam golongan penyandang disabilitas. Karena orang gila memiliki kesempurnaan fisik, dan kekuranganya hanya pada aspek mental,” cetus Sodri yang juga Praktisi Hukum Tulangbawang Barat ini.

Dalam menjalankan demokrasi tentu masyarakat memiliki hak memilih yang bisa di pertanggungjawaban, termasuk rakyat yang memilih dan calon yang dipilih. Namun ia berpendapat jika pemilih (ODGJ) masih perlu dikaji. “Bagaimana mungkin kita bisa meminta pertanggungjawaban dari orang tak waras? Dan calon yang mau dipilih bukan orang gila,” tukasnya. (W9-jon)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.