Lari dan Bersembunyilah Karena Kami dilatih Untuk Mencari dan Menemukanmu

PAGI itu, cuaca begitu dingin menembus tebalnya jaket. Kostum hitam jadi andalannya saat bertugas. Fajar belum menampakkan sinarnya, seorang pria berambut panjang gimbal itu, baru saja tiba di istananya. Rumah dimana tumpuan hidup dan buah hatinya menantikan sosok suami bagi istri dan ayah dari anak-anaknya.

Perlahan dan berhati-hati pintu rumah dibuka, seolah tak ingin kehadirannya membangunkan penghuni rumah. Lelaki itu menghampiri kamar tempat istri dan anak-anaknya tertidur. Mereka masih terlelap dalam mimpi indahnya. Tak ingin menggangu istirahat mereka, ia pun memilih berbaring dikamar sebelah.

Sekilas pria berambut gimbal itu, bak seorang preman jalanan atau seorang seniman. Lelaki muda berusia 35 tahun itu bernama Endani Naro. Ternyata dia adalah polisi berpangkat Brigadir Kepala (Bripka). Dia bertugas sebagai anggota Satuan reserse dan kriminal (Satreskrim) di Polres Lampung Utara. Polisi “gondrong” ini tinggal di jalan Bukit Pesagi, Gang Harmoni, Kelurahan Kota Alam, Kecamatan Kotabumi Selatan.

Tak seperti layaknya anggota kepolisian di lingkungan institusi Polres Lampura yang biasa rapi dan berwibawa, tidak mencukur rambutnya adalah bentuk penyamarannya dengan berstatus anggota polisi. Dimata pimpinan dan institusinya, yang utama dan terpenting adalah “Fokus dan loyalitas”.

Di kesatuan Reserse (Buser) ternyata mendapat kebijakan dari atasannya untuk berambut panjang. Kebetulan menjadi polisi dengan rambut gondrong adalah idaman Bripka Naro sejak kecil. “Dulu waktu aku masih sekolah, kalau lihat polisi rambutnya gondrong dan pakaian preman rasanya gimana gitu.. Macho lah,” kata Bripka Naro yang ternyata diantara beberapa harapannya seperti jadi polisi berambut gondrong akhirnya ikut dialami dan dilakoninya selama bertahun tahun.

Tapi untuk merawat rambutnya yang gondrong, memerlukan perhatian khusus, minimal dua kali dalam seminggu. Apalagi rambut Brigadir Naro “agak” gimbal. “Ya. Aku selalu rutin keramas. Bahkan kesalon setiap minggu untuk merawat rambut ini,” kata Naro.

Kadang pertanyaan itu muncul dari putri pertamaku. “Pi, kok rambut pipi gak pernah dipotong, panjang kayak rambut gusti?,“. Biasalah pertanyaan yang kerap muncul dan rasa ingin tahu mereka yang tinggi dan harus terjawab. Dengan singkat seraya bercanda kujawab, “Pipi sedang menyamar nak,”. Kok pipi nyamar,” lanjutnya. “Kalau pipi gak nyamar, nanti buruan pipi kabur. Nanti kalau pipi sudah pindah tugas, pasti pipi cukur rambut,” jelasnya.

Bripka. Endani Naro, dalam menjalankan tugas, selama hampir 8 tahun tak pernah terlihat sekalipun memakai atributnya lengkap kesatuannya. Awal bertugas pria itu masih berstatus lajang. Tentu dalam menjalankan tugas keseharian tak banyak hal yang menjadi penghalang.

Seiring waktu berjalan. Ia menikah dan mempersunting Sella Tri Meitalia dan dikaruniai tiga orang anak. Putri pertama bernama Chello Orvafelcia Naro, putri kedua bernama Joza Almahyra Naro, putra ketiga bernama Amru Kiano Naro.

Sang Istri kesehariannya selain mengurus anak-anak, bertugas sebagai Bidan disalah satu Rumah Sakit Swasta di Lampung Utara. Tugas dan Pengabdian yang mulia, ditengah kepentingan keluarga dan anak-anaknya.

Kadang terbersit kekhawatiran, saat sang suami pergi menjalankan tugasnya, namun inilah konsekwensi dari suatu pekerjaan. “Ikhlas dan berserah diri saja. Pekerjaan itukan amanah,” lirihnya.

Sulit memang, ketika membagi kepentingan keluarga dan tugas, keduanya harus berimbang. Sebagai seorang Bintara Polri tentu harus loyal terhadap pimpinan, sebaliknya sebagai seorang kepala rumah tangga juga harus berlaku adil. Suatu hari putri sulungku Chello berkata, “Pipi punya waktu gak buat gusti ma Mimi untuk liburan”.

Pertanyaan sederhana dan polos terlontar spontanitas yang muncul pada anak-anak seumurannya. Dengan lugas dan penuh kasih sayang, sang ayah menjawab. “Semua waktu Pipi, buat kalian samua”.

Sampai pada waktu yang dijanjikannya, sang anakpun menagih janji. Saat itu aku bersama rombongan sedang menjalankan tugas. Maklum saja pekerjaan yang tak kenal hari, jam, tempat dan waktu.

Siang itu,Telephone pun bergetar, memberikan tanda panggilan, kulihat dan ku terima telp itu. Suara itu tak asing ditelingaku. Dia Chello putri pertamaku. Suaranya yang lantang dan manja bertanya kepadaku. “Pipi dimana pi? Pipi lagi apa? kok udah dua hari gak pulang pi? Gusti kangen pi? Tanya sang anak.

Posisi yang sulit, namun memerlukan jawaban pasti, seraya mendengarkan celoteh sang anak. Dengan nada lembut sang ayah menjawab. “Sabar ya nak.. Pipi lagi lidik, kalau giat Pipi selesai, Pipi janji kita liburan,” ucapnya menenagkan sang buah hati.

Sosok yang loyal, sigap dan tegas serta ditakuti bagi mereka pelaku-pelaku kejahatan. Yah.. Dia bagian dari Tim Buru sergap “Buser” Polres Lampura. Slogan mereka tergolong unik. “Lari dan bersembunyilah karena kami di latih untuk mencari dan menemukannya”.

Dimata rekan-rekannya, sosok Naro selain loyal dan sigap dalam bertindak, selama bekerja bersama tim tak pernah bermasalah. Hal itu diungkapkan rekan satu timnya, Brigadir. Miko Zalindi. “Sosok Naro selalu siap dan sigap, saling melengkapi. Loyal dan konsisten serta bertanggung jawab dalam bertugas,” jelas Miko dan diaminkan rekan lainnya.

Tak ayal ketika kinerja, loyalitas dan keberhasilan  mereka dalam mengungkap kasus-kasus tindak kejahatan, memperoleh penghargaan dan ucapan terimakasih dari pucuk pimpinan. “Bagi kami raihan tersebut tidak jadi suatu kebanggaan, justru ini menjadi cambuk dan motifasi dalam menjalankan tugas dan meningkatkan kinerja.”

Namun, sosok yang tegas, sigap dan loyal serta ditakuti pelaku-pelaku kejahatan, tidak berlaku bagi istri dan anak-anaknya. Dibalik kesigapan dan loyalitasnya kepada pimpinan. Bripka. Endani Naro, merupakan sosok seorang ayah dan suami yang mengayomi keluarga serta taat menjalani ibadah. Waktu luang disela kesibukan dan aktifitas kesehariannya.

Memberikan pemahaman kepada istri dan anak-anaknya sejak dini, akan pentingnya benteng keimanan. Menurutnya pandai baca Al-Qur’an suatu keharusan. Terlihat ketika dirinya menjadi imam saat sholat berjamaah bagi istri dan kedua putrinya. Usai sholat berjamaah. Ia meluangkan waktu untuk mengajar Iqro kepada keduanya. Pemahaman Agama yang minim, bukan halangan untuk mengajar anak pandai baca Al-Qur’an.

“Sholat dan belajar baca Al-Qur’an tak mesti ke TPA atau kepondok pesantren, mengajar tak musti jadi guru”. Kalau Belajar Ilmu Agama pada ahlinya, tempatnya di Pondok Pesantren, gurunya ya kiyai dan umaroh,” ujarnya.

Penulis: Fahrizal (Alam)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.