Gaspool Nilai Penerapan PM 12/2019 Belum Maksimal

Ketua Gaspool Lampung Miftahul Huda

Bandarlampung, Warta9.com – Terbitnya Peraturan Menteri (PM) No.12 tahun 2019 tentang perlindungan keselamatan pengguna sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat, selain mengatur tentang keselamatan pengendara juga keselamatan penumpangnya baik yang digunakan untuk angkutan daring (ojek online) maupun konvensional (ojek pangkalan). Tapi, hingga saat ini PM 12 tersebut, masih belum sepenuhnya diterapkan pelaksanaannya.

Demikian dikatakan Ketua Umum Gaspool Lampung Miftahul Huda, dalam relesnya, Jumat (19/7/2019).

Miftahul mengatakan, untuk angkutan daring misalnya, dari sisi keselamatan pengendara disyaratkan agar pengendara dibekali dengan seragam yang menggunakan scotlite agar bisa jelas tampak di malam hari. Namun pada prakteknya sampai saat ini masih ada aplikator yang belum menerapkan hal tersebut di seragam mitranya. Juga untuk soal perlindungan asuransi bagi mitra ojek online belum sepenuhnya digarap serius oleh pemangku kepentingan, baik dari aplikator maupun pihak JKN yang merupakan bidang terkait didalamnya.

Lalu soal kebijakan tentang aturan suspen sampai saat ini lanjut Miftahul, belum ada perubahan. Masih tetap menggunakan pola lama dimana driver mitra ojek online masih dihantui ketakutan akan adanya suspen sewaktu-waktu tanpa adanya penjelasan yang memadai dari pihak aplikator. “Sungguh hal ini menjadi sebuah ironi disaat aturan pemerintah yang telah dibuat untuk terciptanya keteraturan, justru seperti diabaikan pelaksanaannya oleh pihak-pihak terkait,” kata Miftahul Huda juga Tim 10 Perumus PM 12/2019.

Saat ini justru perhatian besar masyarakat baik driver maupun konsumen masih tertuju pada penerapan tarif sesuai dengan KP.348 tahun 2019 yang merupakan turunan dari PM.12 tahun 2019 tersebut. Banyaknya pro dan kontra baik di kalangan konsumen maupun driver itu sendiri merupakan suatu kewajaran karena minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan di tingkat pusat dan Dinas Perhubungan di daerah. Akibat minimnya sosialisasi ini, akhirnya banyak pihak yang berasumsi dan berpendapat sendiri sesuai pemahamannya dan akhirnya terjadilah salah paham di lapangan. Aturan yang seharusnya membawa kesejahteraan bagi driver Ojek Online dan menciptakan keseimbangan dengan angkutan konvensional malah banyak diperdebatkan.

Minimnya informasi dan sosialisasi ini sungguh merupakan sebuah ironi karena dunia ojek online yang melibatkan jutaan driver dan puluhan juta penggunanya ini seolah masih dianggap sebelah mata oleh pemerintah daerah. Hal ini terbukti dengan belum pernah adanya sosialisasi penerapan tarif ini oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Perhubungan ke masyarakat. Seolah kenyataan bahwa saat ini angkutan daring ini telah menjadi kebutuhan transportasi utama di perkotaan dinihilkan dan hanya dianggap sebagai pelengkap saja. Ini adalah sebuah kenyataan yang tak dapat dipungkiri bisa menimbulkan konflik dalam dunia transportasi kedepannya.

Pelaksanaan KP.348 tahun 2019 yang membagi dalam 3 zonasi dimana Lampung masuk dalam Zona 1 dengan dasar tarif bawah 1.850/km dan tarif atas 2.300/km dengan tarif minimal 7.000 sd 10.000, sampai saat ini masih menimbulkan polemik karena minimnya sosialisasi oleh Pemerintah Provinsi Lampung melalui Dinas Perhubungan. Padahal KP.348 tahun 2019 ini adalah produk hukum dari Kementerian Perhubungan sendiri. Harus diingat bahwa dalam aturan tersebut diamanatkan agar Gubernur dan Walikota untuk mengawasi pelaksanaannya, tentu saja melalui Dinas Perhubungan yang menjadi leading sektornya. Jika tidak diawasi, selain akan menimbulkan gejolak di masyarakat konsumen dan driver ojek online, juga akan menimbulkan kecemburuan karena ternyata banyak aplikasi baru bermunculan dengan tarif yang jauh dibawah standar tersebut.

Hal ini luput dari pengamatan karena masyarakat terlalu fokus kepada 2 aplikator besar saat ini dan melupakan bahwa aturan hukum yang ada tersebut termasuk aturan soal tarif berlaku untuk semua aplikasi online yang ada di Indonesia. Jika hal ini dibiarkan, bisa saja terjadi kerusuhan atau sweeping terhadap pengguna dan driver aplikasi baru yang tidak sesuai aturan tersebut karena tentu saja akan menyebabkan konsumen berpindah ke aplikasi yang menawarkan tarif lebih murah walaupun tidak sesuai aturan. Selain itu, jika dibiarkan, maka akan menjadi alasan bagi 2 aplikator besar untuk juga ikut melanggar aturan tarif dengan kembali menurunkan tarifnya demi alasan persaingan usaha dan kelangsungan hidup perusahaan. Pada akhirnya, perjuangan driver ojek online untuk memperoleh tarif yang layak akan serasa kembali ke titik awal, bias tanpa makna karena tidak adanya pengawasan dari Pemerintah khususnya Kementrian Perhubungan.

Untuk itulah lanjut Miftahul Huda yang akrab disapa Iip ini, di daerah sebaiknya segera dibuat Peraturan Daerah (Perda) atau setidaknya Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengacu kepada PM.12 tahun 2019 dan penerapan tarif sesuai KP.348 tahun 2019. Nantinya dengan adanya aturan di daerah inilah akan menjadi bukti kepedulian dan keseriusan pemerintah daerah dalam melaksanakan aturan yang telah ditetapkan. Pemerintah Provinsi Lampung selain mengawasi penerapan tarif di provinsi Lampung dan memastikan aturan diikuti oleh semua apliasi online, juga harus segera mengatur tentang quota driver ojek online demi terciptanya keseimbangan antara suplay dan demand agar tidak terjadi kelebihan driver yang merugikan driver itu sendiri, serta terjaganya cita-cita Pemerintah untuk mensejahterakan pengemudi Ojek Online di Indonesia.

“Kami yakin di bawah kepemimpinan Gubernur Lampung saat ini yang sangat peduli kepada masyarakat kecil, akan segera merespon dengan segera menerbitkan aturan dan pengawasan aplikasi online di Bumi Lampung demi kesejahteraan puluhan ribu pengemudi Ojek Online,” harap Iip. (W9-jam)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.